Cerita ini adalah kisah nyata dari sahabatnya sahabatku, yang tidak
ingin disebutkan nama aslinya. Ia memintaku untuk menuliskan perjalanan
cintanya dalam sebuah cerita. Semoga ini juga menjadi pembelajaran untuk
kita semua dan bisa memetik hikmah dari sebuah peristiwa, walau
pengalaman yang datang dari orang lain.
Cinta adalah
sesuatu yang lembut dan halus. Mencintai dan dicintai adalah keinginan
setiap orang, karena dengan saling mencintailah kebahagian itu akan
tercipta. Mencintai tapi tak dicintai, adalah hal yang wajar karena
cinta adalah perasaan yang tidak bisa dipaksa. kebahagiaan tak akan
terasa ada jika terjalin dari keterpaksaan.
Tapi, bagaimana jika dua insan saling
mencintai tetapi salah satunya tersakiti? Masihkah itu bisa disebut
dengan cinta? Silahkan anda temukan jawabannya dalam kisah cinta di
bawah ini. … selamat membaca ….
Kisah cinta ini berawal ketika aku mengenalnya lewat memori hujan di
sudut kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah pulang kerja, aku
terdesak untuk mengikuti mata pelajaran tambahan di kampus. Tetapi naas,
motor yang kukendarai dengan kecepatan tinggi jatuh terhempas di
jalanan membuatku tak sadarkan diri. Entah bagaimana akhirnya, wanita
itu membawaku ke rumah sakit terdekat.
Tiga hari aku dirawat di sana, dia lah yang menjagaku, karena aku
sebatang kara di kota itu. Keluargaku ada di kota sebelah, orang tuaku
asli
warga Banjarmasin dan menetap di sana. Sementara, aku kuliah di Palangkaraya sebagai anak kost dan bekerja di Pall Mall sebagai kasir.
Meskipun sebenarnya aku anak orang berada, tetapi aku lebih memilih
hidup mandiri. Kuliah dari hasil pekerjaanku sendiri serta bantuan
beasiswa yang kuterima dari Universitas Palangkaraya. Aku ingin jadi
lelaki mandiri agar kelak bisa berdiri tanpa bergantung pada orang lain,
terutama pada orang tuaku sendiri.
“Lize” nama wanita itu. Senyumnya menggetarkan jiwaku. Wajahnya
cantik, secantik hatinya. Satu kata mulai terlahir dari hatiku yang
mungkin terlalu cepat. Aku jatuh cinta padanya, saat pertama kali
melihatnya. Gadis cantik itu bernama, Lize Kristiani. Keturunan Chines
yang memilik wajah oriental suku Dayak Palangka.
Setelah kami saling berkenalan dan bertukar nomer hp aku sangat
terkejut, ternyata dia seorang mahasiswi yang satu kampus denganku.
Kondisiku yang belum sembuh betul karena luka yang cukup serius membentur tulang kakiku masih terasa pedih kurasakan, membuatku harus dituntun sampai ke dalam mobil. Lize, mengantarku sampai tempat aku kost ke jalan Krakatau.
Mulai saat itu, aku selalu merasa berhutang budi padanya.
Setiap hari, kami selalu pulang dan pergi ke kampus bersama. Pertemanan kami berakhir dengan berawalnya kisah cinta. Aku tak dapat menghindari perasaan ini, semakin aku menjauh darinya, semakin hatiku sakit.
Setiap hari, kami selalu pulang dan pergi ke kampus bersama. Pertemanan kami berakhir dengan berawalnya kisah cinta. Aku tak dapat menghindari perasaan ini, semakin aku menjauh darinya, semakin hatiku sakit.
Aku telah terpanah busur cintanya, walau sudah beberapa kali
kupikirkan untuk menjauhinya, ternyata hanya membuat hatiku semakin
terluka. Akhirnya, kuputuskan untuk kuteruskan saja cinta ini. Walau
kutahu, aku telah salah memilih tambatan hati. Aku seorang Muslim, dan
dia seorang Kristen.
Lize. Dia sangat mencintaiku, seperti itu pula cintaku padanya. Cinta
ini lahir begitu saja tulus dari hati, sampai tak ada wanita lain yang
bisa menggeser posisinya di hatiku. Sekian lama kebersamaanku dengannya,
keluarganya pun turut merestui hubungan kami.
Mereka juga tahu, kami dari agama yang berbeda. Sudah hampir empat
tahun cinta kami terjalin, sudah lebih sepuluh kali aku membujuknya
memeluk agama Islam. Tapi, sudah sepuluh kali juga tiap aku memintanya
untuk meninggalkan agamanya, dia malah memilih untuk memutuskan jalinan
cinta yang kami bina. Semua itu membuat aku sangat terpukul.
Pernah satu kali dia memutuskan cinta, lalu meninggalkanku seminggu
ke Jakarta, hatiku sungguh sangat terluka. “Padahal hanya seminggu” Aku,
seperti orang gila yang terlihat normal. Tak ada satu orang pun yang
bisa membuatku tersenyum.
Teman-temanku yang berusaha menghiburku dengan menghadirkan wanita
lain di hadapanku juga tak ada gunanya. Baru kusadari cintaku pada Lize
bukanlah cinta biasa.
Aku, kembali merasakan butir-butir kebahagiaan setelah ia ada di
hadapanku, datang membawakan segelas lemon tea dan nasi rawon
kesukaanku. Dia tahu, aku selalu telat makan. Lize menyuapiku tanpa
bicara sepatah kata pun. Airmata mengalir di pipiku meruntuhkan derajat
kelelakianku, tapi aku tak peduli itu. Aku pun memeluknya dengan sangat
erat dan meminta maaf padanya.
“Rifky, aku mencintaimu, tapi aku tak pernah memaksamu untuk
meninggalkan Tuhanmu” matanya berkaca-kaca memandangi wajahku dengan
sendu.
“Maaf kan … aku … Ay … ( panggilan kesayanganku untuknya) aku janji
tidak akan mengulangi hal bodoh ini lagi. Aku mencintaimu, kumohon
jangan pernah tinggalkan aku lagi.”
Kuliah selesai, dan kami pun mengadakan Wisuda. Lize memintaku untuk
segera melamarnya, aku pun tak menolak untuk hidup bersamanya. Aku
pulang ke Banjarmasin dan berjanji akan kembali datang untuk melamarnya,
setelah mendapatkan pekerjaan tetap.
Tetapi, masalah besar justru hadir setelah kepulanganku. Cintaku
ditentang keras oleh orang tuaku. Ayah dan Ibuku ternyata telah
menyiapkan jodoh untukku, yaitu putri sahabat Ayah seorang gadis
muslimah dari Martapura, Kalimantan Selatan.
Wanita salehah yang juga cantik rupanya itu bernama, Ikhma. Aku tidak
tertarik dengan wanita keturunan gadis Banjar-Arab itu. Bagaimana
mungkin aku akan bahagia nantinya, jika aku harus menikah dan hidup
bersama dengan wanita yang sama sekali tidak aku cintai?
Aku tak berdaya menolak paksaan kedua orang tuaku ,untuk segera
menikah dengan Ikhma. Aku juga tak punya kekuatan untuk terlepas dari
kuatnya cinta pada wanita pertama yang hadir di hidupku. Lize, dialah
wanita yang menorehkan cinta teramat dalam di hatiku, yang menyesakan
dadaku dengan menghadirkan kenangan manis yang selalu membuat aku rindu.
Wanita yang sering membuatku menangis karena takut kehilangan
cintanya. Bagaimana mungkin aku bisa terlepas begitu saja untuk
meninggalkannya? Sementara hatiku telah terkurung dalam penjara
cintanya. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyayangi
seseorang dalam kebersamaan, lantas melepaskannya begitu saja. Tentunya
bukan hal yang mudah untuk kehilangan orang yang teramat dicintai.
****
Rasa berdosa kepada pengantin wanita di sebelahku, dan kepada wanita yang sedang menungguku terus memburu ke dalam hatiku. Kusebut nama yang salah dalam proses ijab kabul, yang akhirnya diulang berkali-kali membuat Ikhma nampak kecewa kepadaku.
Rasa berdosa kepada pengantin wanita di sebelahku, dan kepada wanita yang sedang menungguku terus memburu ke dalam hatiku. Kusebut nama yang salah dalam proses ijab kabul, yang akhirnya diulang berkali-kali membuat Ikhma nampak kecewa kepadaku.
Hatiku haru biru. Kesekian kalinya aku mendapat bimbingan, akhirnya
kata sah keluar dari saksi kedua mempelai. Ikhma, dia resmi menjadi
Istriku.
Setelah selesai shalat Isya berjamaah. Tak ada malam pertama setelah
kami menikah, aku berdalih tak enak badan pada Ikhma. Padahal malam
pertama, adalah malam terindah yang selalu dinantikan sepasang pengantin
muda. Tapi tidak bagiku, pedih dan sedih mengumpat di dadaku. Ikma
buatkan aku secangkir teh hangat dan membujukku untuk makan, aku
menolak. Bahkan, aku tak meminum sedikit pun teh yang disiapkannya
untukku hingga dingin.
Malam-malam selanjutnya kulakukan tugasku sebagai suami, meskipun
saat melakukannya yang kubayangkan hanya wajah Lize. Wajah itu selalu
membayang-bayangi di setiap hariku. Aku yang sebenarnya periang dan
penyayang. kini berubah menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Di
rumah aku hanya bicara seperlunya, dan sekarang aku menjadi seorang
lelaki yang mudah marah, walau aku tak pernah memukul wanita.
Sedikit saja Ikhma berbuat salah, aku selalu memakinya, memarahinya
dengan meledak-ledak dan mengeluarkan kata-kata kasar. Kalaupun dia
tidak salah, aku selalu berusaha mencari-cari kesalahannya.
Berulang kali kucoba ingin menceraikannya, selalu tak ada kekuatan
untuk melakukannya. Tak ada dukungan dari siapapun, selain hatiku
sendiri yang menentang. Pastinya orang tua dan keluargaku akan marah,
karena mereka menganggap Ikhma wanita terbaik untuk hidupku dan masa
depanku.
Meskipun Ikhma sering mendapatkan perlakuan yang tak enak dariku, ia
selau sabar menghadapi tingkahku, walau ia tak mendapatkan hak nya
sebagai seorang istri.
Setiap kali aku menghubungi Lize via telpon hatiku terasa sangat
sakit, karena banyak kebohongan-kebohongan tercipta setelah aku menikah.
Aku, yang sebenarnya telah bekerja di perusahaan besar di Banjarmasin
dengan jabatan yang cukup tinggi, mengaku belum mendapatkan pekerjaan
tetap. Sehingga, aku belum bisa menemui Lize ke Palangka untuk memenuhi
janjiku yang tertunda, yaitu menikahinya.
Ikhma, sebenarnya ia wanita yang baik dan cantik, tapi hatiku tak
pernah tergerak untuk mengakuinya sebagai istri. Sebelum berangkat ke
kantor, Ikhma selalu menyiapkan segala keperluanku. Mulai dari
menyiapkan makan, sampai memakaikan sepatu dan jasku. Terkadang, ia juga
menyelesaikan tugas-tugas kantor yang belum sempat kuselesaikan.
Sebelum berangkat kerja ia selalu mencium tanganku dengan lembut,
tapi aku tak pernah mengecup keningnya. Aku tahu, ia sangat mengharapkan
kelembutan hatiku, merindukan sentuhan hangat juga merindukan kecupan
kasih sayang dariku. Layaknya wanita lain yang mendapatkan kemesraan
dari setiap pasangannya.
Sewaktu makan siang pun, ia selalu mengantarkan rantang makanan nasi
rawon kesukaanku, walau tak pernah kusentuh masakan itu. Saat pulang
kerja, aku tak pernah tersenyum menemui istriku yang membukakan pintu
dengan dandanan yang cantik, bahkan sudah menyiapkan air hangat untuk
mandi sore beserta baju gantiku.
Pahitnya, hatiku tak pernah tersentuh. Yang kutahu, apa yang ia
lakukan untukku selalu salah di mataku. Aku, tak bisa membedakan mana
yang hitam dan putih lagi., yang kutahu, ia selalu salah dan salah.
Walau pun ia benar, di mataku ia tetap salah.
Lize. Aku pun tak punya pilihan lain. Dia, mengancam akan meninggalkanku, bila tidak segera menikahinya.
***
KISAH MENGHARUKAN SEORANG ISTRI YANG DIMADU
Tak ada wanita yang ingin dimadu, tapi tak ada juga lelaki yang ingin hidup satu atap dengan wanita yang tak pernah dicintai. Setiap kali aku memaksa diri untuk belajar menerima Ikhma dalam hidupku, namun apalah daya cinta itu tak pernah terasa ada.
Tak ada wanita yang ingin dimadu, tapi tak ada juga lelaki yang ingin hidup satu atap dengan wanita yang tak pernah dicintai. Setiap kali aku memaksa diri untuk belajar menerima Ikhma dalam hidupku, namun apalah daya cinta itu tak pernah terasa ada.
Terluka dan terluka, itulah rasa yang telah tertoreh di dalam hatiku.
Hanya sakit yang mengganjal didadaku, saat cinta bicara dengan orang
yang salah bukan dari pilihan hati. Akhirnya aku harus berbohong pada
Ikhma, akan ada tugas keluar kota untuk dua bulan ke depan untuk rencana
pernikahan keduaku.
”Kuputuskan untuk menikahi Lize dengan cara Islam, walau pun aku
telah melanggar hukum dan syariat Islam di dalamnya. Aku juga mengetahui
larangan Allah dalam Firman-Nya: ..
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka
beriman (masuk islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walau pun ia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik meskipun ia menarik hatimu (Qs :
Albaqarah :221).
Benar kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat akan terjatuh juga.
Dua bulan berlalu, aku kembali ke Banjarmasin bukan karena Ikhma,
tapi karena tanggung jawab pekerjaanku. Setelah empat bulan kepulanganku
dari Palangka, Lize datang ke rumahku dan bertemu dengan keluarga serta
istriku. Ia datang sebagai istri keduaku yang tidak hanya sendiri, tapi
dengan jabang bayi yang ada di rahimnya hasil buah cinta kami.
Lize sempat pingsan dua kali saat aku mengakui kebohonganku, bahwa
Ikhma adalah istri pertamaku. Aku membopongnya tubuhnya yang tak
sadarkan diri ke kamar. Saat aku dihakimi oleh keluargaku dan istri
keduaku, kulihat Ikhma lah yang paling tegar.
Tak ada setitik air mata mengalir di wajah sendunya, malahan ia sibuk
menenangkan ibuku yang tak henti menangis dan memakiku. Padahal aku
tahu, pasti dia lah orang yang paling terluka hatinya kala itu.
“Ay, bangun ay … ” Aku menyodorkan segelas air putih dan meminumi
Lize yang mulai sadar. Kugenggam erat tangan Lize sambil memeluk erat
tubuhnya. Aku tahu, Lize akan marah besar padaku saat ia tersadar nanti,
karena aku membohonginya selama ini. Aku sama sekali tidak mempedulikan
Ikhma, yang memanadangiku di balik pintu kamar dengan air mata yang
menggenang di sudut matanya dari wajahnya nampak kelam dan suram.
Setelah Lize sadar, ia menangis menghambur ke pelukanku sekaligus
memukul-mukul dadaku. Dalam pelukanku, kutenangkan ia agar berhenti
menangis. Kusuapi ia, agar mau makan. Kubujuk Lize, untuk bisa
memaafkanku. Kuceritakan semua yang terjadi dengan sebenar-benarnya,
bahwa pernikahanku dengan Ikhma bukanlah keinginanku.
Lize, ia menerima kenyataan itu pastinya juga dengan hati yang sangat
terluka. Malam itu, aku tidur dengan Lize. Sementara, aku tidak tahu
Ikhma tidur di kamar mana. Yang kutahu, ia tidak mau kukembalikan pada
orang tuannya.
Hidup satu atap dengan dua wanita bukanlah hal yang mudah, apalagi
ada orang tuaku yang selalu menyertai di dalamnya. Kesukaran demi
kesukaran terjadi. Orang tuaku yang menentang cintaku, terutama ibu,
yang selalu menyalahkan Lize sebagai perebut suami orang. Dan konyolnya,
ibu percaya kalau aku telah terkena guna-guna (ilmu hitam) dari Lize,
gadis keturunan Suku Dayak asli sehingga aku tak pernah bisa
melepaskannya.
Lize, ia diperlakukan orangtuaku dengan tidak adil. Seperti apa yang
kulakukan kepada Ikhma, begitu juga yang dilakukan orangtuaku pada Lize.
Aku mengancam Ibu akan keluar dari rumah, jika tidak menghormati Lize
sebagai istriku. Tentunya Ibu tidak akan rela jika aku meninggalkannya,
karena aku anak satu-satunya.
Tetapi, ibu juga membuat hatiku risau. Ibu mengancamku tak akan
memaafkanku, jika aku tidak membagi cintaku dengan adil kepada dua istri
yang keduanya masih sah sebagai istriku.
Terutama istri pertamaku, yang selama ini kusia-siakan. Ini hal yang
tersulit yang harus kuhadapi. Tak ada wanita yang ingin digilir
cintanya, apalagi dengan keadaan Lize yang sedang hamil muda.
Malam keempat, saat aku seranjang dengan Ikhma, aku tak dapat tidur.
Bayanganku ada pada Lize yang berbaring di kamar sebelah. Mungkin ia
sedang menangis atau kedinginan, karena tak ada aku di sampingnya
menyelimuti tubuhnya, membelai rambutnya dan mencium keningnya sebelum
tidur, hal yang tak pernah kulakukan pada Ikhma.
Aku juga tidak tahu wanita mana yang paling terluka hatinya. Di
antara dua wanita ini hanya satu cinta yang kupunya, tentunya untuk
Lize. Entah kapankah, aku akan bisa menjadi suami yang adil.
“A, aku rela kau madu dan membagi cintaku , asal jangan kau ceraikan aku …”
Ikhma memohon di hadapanku dengan airmata yang tak dibuat-buat. Aku
hanya tertegun mendengar kata-kata itu, rasanya hatiku hampa sekali. Tak
ada jawaban dariku, karena aku memang tak ingin menjawabnya. Dan untuk
kesekian kalinya, kutorehkan luka di dadanya dengan caraku yang tak
pernah lembut memperlakukannya.
Bahkan, aku lebih sering tidur dengan Lize dari pada dengan Ikhma, jika tak ada orang tuaku di rumah.
Pada malam selanjutnya yang dulunya tak pernah kukehendaki terjadi
juga. Karena saat itu orang tuaku ada di rumah, aku pun haus bersikap
lembut kepada Ikhma. Harusnya aku hanya tidur dengan Ikhma malam itu,
tapi karena Lize mengatakan ia sedang tak enak badan, ia pun meminta
untuk tidur bertiga di dalam kamar Ikhma, aku pun tak dapat menolak.
Kulihat Ikhma memalingkan tubuhnya, setelah aku mengecup kening Lize
di hadapannya. Aku baru bisa tertidur, setelah Lize ada di sebelah
kiriku sambil menenangkanku. Seperti biasa, setiap lewat dari jam satu
malam menuju dini hari, Ikhma shalat tahajud.
Entah do’a apa yang ia minta pada Allah, sampai air matanya menetes
di pipi. Kudengar samar-samar, ia inginkan agar aku bisa mencintainya
dan memberi kasih yang sama, seperti orang ketiga yang hadir dalam cinta
kami. \
Wanita yang telah kusakiti untuk kesekian kali, malam itu bagai
terlahir seperti bidadari surga, walau aku mulai tak mengerti dengan
perasaanku. Entah dari mana datangnya, hatiku mulai tersentuh dengan
cintanya. Malam itu, aku menggaulinya dengan sepenuh hatiku. Kupandangi
wajahnya yang teramat cantik malam itu dengan rasa kasih yang luar
biasa.
“Mamah … kau terlihat sangat cantik malam ini sepertinya … aku … telah … jatuh hati … padamu …”
“Katakah sekali lagi A … aku ingin mendengarnya..”
“Mamah, Kau … terlihat … sangat … cantik … malam ini … dan sepertinya … aku …”
Tak dapat kuteruskan kata-kata itu, mungkin karena hatiku agak
sedikit tabu untuk mengakuinya. Ikhma menangis bahagia karena terharu,
walau aku tak dapat meneruskan kata-kata selanjutnya.
Dan aku tahu, ia sangat ingin mendengar aku melanjutkan kata-kata
itu, tapi aku tak bisa. Lidahku terasa kelu, urat leherku terasa kaku,
tapi kata-kata itu memang tulus dari hatiku, walau pun sebelumnya aku
tak dapat tidur karena terus memikirkan wanita keduaku.
Lize, ia tahu aku tidak hanya sekedar tidur dengan Ikhma, membuatnya
sangat cemburu. Seakan, ia tak dapat menerima dan tak sanggup lagi hidup
denganku.
Pagi tiba. Lize, memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Aku merasa
terpukul sekali. Aku membujuknya untuk tetap bersamaku sambil meminta
maaf, aku juga menjelaskan padanya, apa yang telah aku lakukan tadi
malam hanyalah sebuah kekhilafan yang terjadi di luar kendaliku.
Aku makin jadi serba salah, Ikhma menangis mendengar kata-kataku,
bahwa tadi malam yang kami lakukan hanyalah suatu “kekhilafan.” Dan baru
kali ini, aku juga peduli pada Ikhma.
Aliran darahku seakan berhenti, saat Lize meminta aku menceraikannya
dan ia akan menggugurkan anakku yang ada di dalam kandunganya. Ia merasa
sudah tak tahan hidup denganku, dengan cinta yang tak adil untuknya.
Ikhma menuntun Lize masuk ke dalam rumah, untuk bicara baik-baik
bertiga.
Karena hari itu hari Minggu, hanya ada kami bertiga di rumah. Aku
sedang libur kerja, sementara orang tuaku telah berangkat ke luar kota
setelah shalat subuh.
” Lize, jangan kau tinggalkan Mas Rifky, karena ia tak bisa hidup tanpamu …,”
“Mungkin kau bisa tegar menghadapi semua ini, tapi aku tidak ! Kau,
telah merebut ia dariku. Aku sangat benci padamu ,Ikhma. Juga padamu,
Rifky. Mengapa harus ada anak ini di rahimku, sementara kau sakiti aku
dengan cintamu”
Lize menangis dengan emosi yang membara …
“Aku, tidak pernah merebut Mas Rifky darimu. Aku, menikah dengan mas
Rifky karena perjodohan yang tak pernah ku tentang. Jika kutahu dia
milikmu, pastinya aku tak akan menerima perjodohan itu.
Ia lelaki pertama di hidupku, yang membuatku terikat dalam tali
perkawinan. Ku pikir, dengan adanya ikatan pernikahan akan ada kehidupan
cinta di dalamnya, tapi sampai kini aku tak pernah menemui semua itu”
Mata Ikhma berkaca-kaca walau kelihatan nampak tegar.
“Mengapa kau tidak minta cerai darinya Ikhma, bukankah kau tak pernah
bahagia selama hidup dengannya? kau, adalah racun yang mematikan dalam
cinta kami”
“Demi Allah Lize, perceraian adalah sesuatu yang dibenci Allah walau
diperbolehkan. Mas Rifky, adalah jodoh yang diberikan Allah yang
ternyata bukan hanya untukku, tapi juga untukmu.
Untuk kujaga dan kuhormati pangkatnya dalam istana hatiku, yang
selalu aku terima setiap perlakuan apa pun darinya dengan Ikhlas. Aku
belajar mencintainya, seperti Tuhan mencintaiku. Aku tak pernah merasa
tersakiti dalam keadaan apa pun, selama aku bersamanya.
Mungkin, aku yang belum beruntung dalam menjalani kehidupan cintaku.
Kau beruntung, telah mendapatkan cinta yang besar darinya dan
mendapatkan keturunan darinya. Aku turut bahagia dengan semua itu”
“Mengapa kau bisa setegar ini Ikhma, maafkan aku baru ku sadari, aku
lah yang menjadi duri dalam daging untuk kehidupan cintamu, aku akan
pergi dari kehidupan kalian ..”
“Tidak Lize, kau akan tetap di sini, bersama aku dan Mas Rifky. Iya kan, Mas?”
Aku hanya mengangguk, tak percaya ada wanita setegar Ikhma di dunia
ini. Mungkin, ia adalah bidadari yang benar adanya, dan hatinya serupa
dengan malaikat yang tak bersayap?
***
Sembilan bulan berlalu. Saat jam bekerja Ikhma menelponku mengabarkan
kado bahagia, yang membuat hatiku bersuka cita. Akhirnya, Lize
melahirkan sorang putri yang cantik jelita, itu artinya aku telah
menjadi seorang ayah.
Kupandangi wajah istriku yang masih lemas di dalam kamar bersalin.
Segera aku datangi Lize dan mencium keningnya. Aku meminta Ikhma dan
Lize, tetap menjadi istri yang rukun dan ibu yang baik buat anak-anakku
nantinya. Dan Ikhma pun, dengan perasaan suka menyetujuinya. Lize juga
senang mendengar kabar kehamilan Ikhma, yang ternyata sudah memasuki
bulan kedua.
Saat perjalanan pulang ke rumah bersama keluarga besarku. Kulihat
senyuman itu manis sekali tengah memangku putri kecilku. Wajah Ikhma
terlihat sangat cantik, dan tak bosan-bosan aku memandangnya. Cinta
kurasakan hari itu teramat besar padanya, walau bukan terlambat untuk
mencintainya. Tetapi setidaknya, aku sempat memberi cintaku padanya
melebihi cinta yang kurasakan pada Lize sebelumnya.
Lize, tersenyum ke arahku dengan tatapan bahagia. Bahagia karena
telah menjadi seorang ibu dan bisa menerima kemelut cinta yang telah
kami hadapi bersama. Tapi, tak pernah ku sangka senyuman itu menjadi
detik terakhir untuk kunikmati di hari bahagia dan keindahnya. Tuhan,
telah memberikan jalan lain untukku.
Ia mengambil semua keindahan cinta di saat aku baru mengecap kisah
kasih yang sempurna. Sebuah mobil datang dari arah pertigaan kota, lalu
bertabrakan dengan mobil yang kukendarai. Kecelakaan maut itu telah
merenggut nyawa istriku yang pertama.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia mengucapakan dua kalimat syahadat dengan fasihnya dan sempat berpesan padaku:
“A Rifky … Kau telah menjadi Ayah. Anak Lize, adalah anakku juga.
Jagalah anak kita dan sahabatku, Lize. Jangan pernah kau sakiti hatinya,
dan cintailah ia dengan cinta yang seutuhnya. Aku titip mereka padamu
…”
“Iya, Mah …” Air mataku mengalir sambil merangkul tubuhnya. Kupeluk dan kuciumi wajahnya yang bersimbah darah di kepala.
“Jangan tinggalkan aku, Mah. Kau wanita yang kuat … Kau akan bisa bertahan, Mah …” teriakku dengan airmata yang membanjir.
“Jangan tinggalkan aku, Mah. Kau wanita yang kuat … Kau akan bisa bertahan, Mah …” teriakku dengan airmata yang membanjir.
Tuhan kiranya berkehandak lain. Jodoh, kehidupan, dan kematian, Tuhan
lah pemilik dan pengaturnya. Sampai di penghujung nafasnya, ia
mengucapkan kalimat syahadat dengan begitu fasihnya. Rohnya melayang
pergi meninggalkan jasadnya. Ikhma pun tiada.
Penyesalanku memang tak berguna, tapi setidaknya aku sempat
memberikan cinta yang besar padanya kurang lebih satu tahun sebelum
kepergiannya, dengan cinta yang tak dapat kutebus untuk seumur hidupku.
Karena setelah kepergiannya, aku tak pernah bisa berhenti untuk
mencintainya. Dia, memberiku kehidupan sebagai jantung kedua di hidupku.
Mungkin jika saat itu orang tuaku tidak menjodohkan aku dengan wanita
setegar dia, aku tak akan bisa bersama kembali dengan orang yang juga
sangat kucintai, Lize.
“Jika Lize adalah cinta pertamaku, maka Ikhma telah menjadi cinta terakhirku ..
Jika Lize adalah cinta matiku, maka Ikhma lah sebagai cinta yang hidup dalam jiwaku ..
Jika lize adalah cinta suciku, maka Ikhma adalah cinta sejati di hidupku ..
Dan aku menunggu hari-hari indah itu kembali ..
Mengharapkan satu saat nanti …
Mengharapkan satu saat nanti …
Aku bertemu dengan anak dan istriku berkumpul kembali, di surga yang abadi …”
Maafkan aku Ikhma … yang tak sempat memberimu cinta, dari separu
usiaku yang tertinggal. Semoga, kau diterima di sisi-Nya dan mendapatkan
kebahagiaan abadi yang dikelilingi malaikat-malaikat putih yang
menghias tidur panjangmu, dengan taman kehidupan wangi surgawi yang tak
pernah pudar.
Kusimpan cintamu dalam kasih yang abadi di dalam kenanganku. Pertemuan yang kurindukan itu akan ada, setelah aku menyusulmu.
Aku, menunggu jantung keduaku untuk bisa segera bersamamu. Kita akan
bertemu di sana bersama anak-anak kita. Di sini, kami selalu berdo’a
kebaikan untukmu dan selalu merindukanmu.
Tidurlah yang damai, dan bersimpuhlah di keharibaan Tuhan yang selalu
kau bangakan keagungan-Nya. Semoga, kau telah di tempatkan di surga
firdaus-Nya. Aamiin …
~ o ~
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya. Aamiin
SEDIH
BalasHapusMemang terkadang sangat sulit jika kita jatuh hati dan mencintai seorang yang berbeda agama
BalasHapus