Cerpen Cinta Islami - Indah Pada Waktunya |
Siang ini terasa begitu panjang. Matahari bersinar sangat terik, tak
seperti biasanya. Kukayuh sepeda dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“hfffh, panas banget.” sambil menghapus peluh yang mengalir dari balik jilbab, aku bergumam. “Menyesal rasanya menolak tawaran Linda untuk istirahat di Kosannya. hahhh, ya sudahlah.”
“hfffh, panas banget.” sambil menghapus peluh yang mengalir dari balik jilbab, aku bergumam. “Menyesal rasanya menolak tawaran Linda untuk istirahat di Kosannya. hahhh, ya sudahlah.”
“Assalamu’alaikum. Bu, Nana pulang.” Aku melangkahkan kaki menuju
kamar. Sejenak merebahkan tubuh yang letih di atas kasur. Kuhidupkan
kipas angin. Seketika kamar menjadi sejuk. Tirai jendelaku bergerak
pelan mengikuti angin yang berhembus. Mataku terpejam menikmati
sejuknya. Tiba-tiba handphoneku berderit. Ada sms dari Linda.
‘Na, dah nyampe home?’.
dengan malas aku mengirim balasan,
‘Udah. Napa? kangen ya? :p ’.
‘Na, dah nyampe home?’.
dengan malas aku mengirim balasan,
‘Udah. Napa? kangen ya? :p ’.
Seseorang membuka pintu kamarku, “Sudah pulang, Na?”. Mbak Hesti,
kakakku menyapa tiba-tiba. “Eh, iya mbak. Rebahan di kamar bentar.
Capek. Liburan Semesteran mbak?.”
“Enggak. Mau ambil barang di kamar.” Mbak Hesti melangkah duduk di pinggir kasur, di sampingku. Aku mengangguk dengan mulut membentuk huruf “o”.
“Mbak, bikin es ya mbak. Aku mau dong.”
“Ambil aja di dapur.”
“Enggak. Mau ambil barang di kamar.” Mbak Hesti melangkah duduk di pinggir kasur, di sampingku. Aku mengangguk dengan mulut membentuk huruf “o”.
“Mbak, bikin es ya mbak. Aku mau dong.”
“Ambil aja di dapur.”
Secepat kilat aku melesat ke dapur. Handphoneku berderit lagi.
‘Pasti Linda’ batinku.
‘I Miss You So Much, girl.’
Geli aku membaca sms sahabatku itu. Dengan menahan tawa aku mengirim sms balasan untuknya.
‘I’m Sorry ya Linda sayang. Aku masih suka sama cowok tu.’
‘Wkwkwkwk’
‘Pasti Linda’ batinku.
‘I Miss You So Much, girl.’
Geli aku membaca sms sahabatku itu. Dengan menahan tawa aku mengirim sms balasan untuknya.
‘I’m Sorry ya Linda sayang. Aku masih suka sama cowok tu.’
‘Wkwkwkwk’
Belum sempat aku membalas sms Linda, ada sms masuk lagi. Dari siapa?
“Na, kue kering yang di lemari bawa kesini ya.” Mbak Hesti setengah berteriak dari ruang TV.
“Siaap!”
“Na, kue kering yang di lemari bawa kesini ya.” Mbak Hesti setengah berteriak dari ruang TV.
“Siaap!”
Dengan tergopoh aku berjalan menuju ruang TV. Tangan kanan membawa
gelas berisi es buah dan tangan kiri membawa kue kering permintaan mbak
Hesti. Es dan kue kering aku letakkan di atas meja yang ada dihadapan
kami.
“Makasih ya, Na.”
Aku tak menyahut ucapan terima kasih mbak Hesti. Mataku menatap lurus nama yang ada di layar handphone. Sms dari Reno. Ada apa? tumben. Tidak biasanya Reno sms aku kalau bukan karena urusan yang penting. Bukankah Laporan Kegiatan Outbond kemarin sudah aku kasih. Lalu? Logikaku berhenti. Tak mampu menerka ada apa.
“Na. Hey, kamu bengong. Sms dari siapa sih?” mbak Hesti menyadarkanku.
“Mmm, temen mbak.”
“Makasih ya, Na.”
Aku tak menyahut ucapan terima kasih mbak Hesti. Mataku menatap lurus nama yang ada di layar handphone. Sms dari Reno. Ada apa? tumben. Tidak biasanya Reno sms aku kalau bukan karena urusan yang penting. Bukankah Laporan Kegiatan Outbond kemarin sudah aku kasih. Lalu? Logikaku berhenti. Tak mampu menerka ada apa.
“Na. Hey, kamu bengong. Sms dari siapa sih?” mbak Hesti menyadarkanku.
“Mmm, temen mbak.”
—
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Namun
kakiku rasanya kaku. Pikiranku kacau. Dengan malas aku merapikan
buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Na, pulang bareng ya.” Linda menoleh padaku. Aku tak merespon.
“Na, pulang bareng ya.” Linda mengulang kembali ucapannya. Kali ini dengan menepuk pundakku, pelan.
“eh, mm. Gimana Lin?”
“Pulang bareng ya. Kamu kenapa si? lagi dapet ya?”
“Lin, temenin aku bentar ya.”
“Kemana? Ke Kantin? Aku masih kenyang Na. atau mau ke Ruang OSIS? males ah Na. Anak OSIS nyebelin semua.” Linda nyerocos tak memberi cela untukku bicara.
Akhirnya dengan sedikit aku paksa Linda mau menemani aku menemui Reno di Kantin Sekolah.
“Na, pulang bareng ya.” Linda menoleh padaku. Aku tak merespon.
“Na, pulang bareng ya.” Linda mengulang kembali ucapannya. Kali ini dengan menepuk pundakku, pelan.
“eh, mm. Gimana Lin?”
“Pulang bareng ya. Kamu kenapa si? lagi dapet ya?”
“Lin, temenin aku bentar ya.”
“Kemana? Ke Kantin? Aku masih kenyang Na. atau mau ke Ruang OSIS? males ah Na. Anak OSIS nyebelin semua.” Linda nyerocos tak memberi cela untukku bicara.
Akhirnya dengan sedikit aku paksa Linda mau menemani aku menemui Reno di Kantin Sekolah.
Kantin Sekolah penuh sesak. Aku memilih duduk di pojok dekat pintu
masuk. Sudah satu jam aku menunggu Reno tapi aku belum melihat
kedatangan Reno. Kemana dia? Apa jangan-jangan dia mengerjaiku? Ah,
tidak mungkin. Linda yang dari tadi diam di sampingku mulai bersuara.
“Na, masih lama? Nunggu siapa sih?”
Aku masih sibuk mencoba menghubungi Reno.
“Lin, pesen minum dulu yuk.”
Reno baru datang setelah es teh yang kami pesan sudah habis.
“Assalamu’alaikum, Nana Linda”
Aku dan Linda menjawab beriringan, “Wa’alaikum salam”.
“Maaf, nunggu lama ya Na. Tadi ada urusan sebentar.”
Linda mencubit lenganku. Ia menatapku dengan wajah penuh tanya.
Aku hanya nyengir saja.
“Ada apa Ren?” Aku langsung to the point. Berlama-lama ngobrol berdua dengan laki-laki terasa tak nyaman bagiku. Meski untuk sekarang ini ada Linda menemaniku. Reno yang memilih duduk di sampingku justru diam tanpa kata. Tak biasanya dia seperti ini. Aku menjadi semakin penasaran.
“Ren, Kamu mau bicara apa? Bukankah Laporan Kegiatan Out Bond sudah aku serahkan kemarin.” Aku tidak sabar.
“Ini… soal hati Na. Lebih tepatnya hatiku.” Reno menatapku dengan tatapan berbeda. Tak seperti biasanya. Membuatku semakin bingung. Reno seperti mengerti kebingunganku. Perlahan Ia menjelaskan padaku. Ia sendiri tak tahu sejak kapan Ia mulai mempunyai “rasa” itu padaku. Diam-diam Reno selalu memperhatikan aku. Aku hanya tertunduk. Linda menatap bergantian Reno dan aku. Manggut-manggut tanpa bersuara.
“Na, masih lama? Nunggu siapa sih?”
Aku masih sibuk mencoba menghubungi Reno.
“Lin, pesen minum dulu yuk.”
Reno baru datang setelah es teh yang kami pesan sudah habis.
“Assalamu’alaikum, Nana Linda”
Aku dan Linda menjawab beriringan, “Wa’alaikum salam”.
“Maaf, nunggu lama ya Na. Tadi ada urusan sebentar.”
Linda mencubit lenganku. Ia menatapku dengan wajah penuh tanya.
Aku hanya nyengir saja.
“Ada apa Ren?” Aku langsung to the point. Berlama-lama ngobrol berdua dengan laki-laki terasa tak nyaman bagiku. Meski untuk sekarang ini ada Linda menemaniku. Reno yang memilih duduk di sampingku justru diam tanpa kata. Tak biasanya dia seperti ini. Aku menjadi semakin penasaran.
“Ren, Kamu mau bicara apa? Bukankah Laporan Kegiatan Out Bond sudah aku serahkan kemarin.” Aku tidak sabar.
“Ini… soal hati Na. Lebih tepatnya hatiku.” Reno menatapku dengan tatapan berbeda. Tak seperti biasanya. Membuatku semakin bingung. Reno seperti mengerti kebingunganku. Perlahan Ia menjelaskan padaku. Ia sendiri tak tahu sejak kapan Ia mulai mempunyai “rasa” itu padaku. Diam-diam Reno selalu memperhatikan aku. Aku hanya tertunduk. Linda menatap bergantian Reno dan aku. Manggut-manggut tanpa bersuara.
Reno menghela nafas pelan. Seolah beban yang Ia pikul selama ini
mengambang bersama angin yang lewat di antara kami bertiga. Kantin
semakin sepi. Menyisakan kami bertiga dan bu kantin. Segerombolan siswi
kelas satu yang duduk di seberang meja kami sudah beranjak sejak Reno
datang. Suasana benar-benar hening. Kami hanyut dalam pikiran
masing-masing. Linda masih dengan kebiasaan barunya, manggut-manggut
menatap kami -aku dan Reno- bergantian.
“Nana, aku harap apa yang aku katakan ini tidak membuatmu merasa
bersalah. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku tidak ingin kamu terbebani
dengan perasaanku ini.”
‘Terlambat, Ren. Pengakuanmu justru membuatku merasa bersalah.’ Aku bergumam pada diriku sendiri.
‘Terlambat, Ren. Pengakuanmu justru membuatku merasa bersalah.’ Aku bergumam pada diriku sendiri.
Hari demi hari telah berlalu. Bunga melati di halaman rumah sudah
mulai bermekaran. Wanginya memenuhi tiap sudut rumah. Terkadang aku
memetiknya dan meletakkannya di kamar sebagai pengharum ruangan. Hujan
masih turun sejak pagi tadi. Langit di atas sana masih berwarna abu-abu.
Udara pun menjadi dingin. Kejadian tempo hari masih membekas di
benakku. Karena sejak kejadian itu kurasakan Reno menghindar dariku.
Meski kami masih bertemu di Sekolah ataupun di OSIS tapi Reno menjadi
lebih pendiam, pasif.
“Tanyakan saja padanya, Na. Daripada kamu senewen kayak gini?” Linda memberi saran padaku di jam istirahat sekolah.
Siang itu aku membulatkan niat untuk menemui Reno. Dari Sinta -teman satu kelas Reno- aku tahu kalau Reno sedang berada di ruang OSIS. Langkahku terhenti saat aku berada tepat di depan Ruang OSIS. Sepi. Tapi aku melihat sepatu milik Reno, berarti memang Reno ada disini.
Siang itu aku membulatkan niat untuk menemui Reno. Dari Sinta -teman satu kelas Reno- aku tahu kalau Reno sedang berada di ruang OSIS. Langkahku terhenti saat aku berada tepat di depan Ruang OSIS. Sepi. Tapi aku melihat sepatu milik Reno, berarti memang Reno ada disini.
“Assalamu’alaikum ” Suaraku bergetar. Tak ada jawaban. Mungkin Reno
sedang keluar dan meninggalkan sepatunya disini. Aku melangkah keluar
tapi kemudian terhenti. Seseorang dari ruang komputer menjawab salamku.
“Wa’alaikum salam.” Sebuah langkah mendekatiku. Itu Reno. Aku berusaha
tersenyum saat dia berdiri di hadapanku. Reno mengajakku duduk di meja
rapat. Aku memilih duduk di dekat jendela, berjarak dua kursi dengan
Reno. Kami berdua diam. Aku enggan untuk membuka pembicaraan. Aku
melihat keluar jendela yang ada di sebelahku. Mendung menyelimuti kotaku
siang ini. Hujan akan segera tiba. Angin yang lewat menyisakan kebekuan
yang semakin menyesakkan.
“Sepertinya akan hujan, Na.” Reno bersuara. “Ada apa, Na?”
“Seharusnya aku Ren yang bertanya ada apa. Aku merasa… kau menjauhiku. Apakah itu benar?” Aku tak berani menatap ke arah Reno. Reno menghela nafas panjang.
“Aku sedang belajar ikhlas, Na. Mengikhlaskan semua perasaan ini padaNya. Beberapa hari ini aku memang menjauhimu karena dengan tidak melihatmu aku fikir rasa ini akan menghilang. Tapi, ternyata tidak. Maaf, Na aku hanya manusia biasa.”
“Aku tidak menyalahkanmu atas perasaan itu Ren karena rasa menyayangi dan mencintai orang lain itu fitrah kita sebagai manusia. Karena Ialah Maha Cinta. Pemilik hakiki Cinta Sejati. Namun kita terlalu cepat mengartikan rasa yang belum saatnya hadir. Hingga kebanyakan teman-teman kita menjadikan pacaran sebagai jalan pintasnya.”
“Sepertinya akan hujan, Na.” Reno bersuara. “Ada apa, Na?”
“Seharusnya aku Ren yang bertanya ada apa. Aku merasa… kau menjauhiku. Apakah itu benar?” Aku tak berani menatap ke arah Reno. Reno menghela nafas panjang.
“Aku sedang belajar ikhlas, Na. Mengikhlaskan semua perasaan ini padaNya. Beberapa hari ini aku memang menjauhimu karena dengan tidak melihatmu aku fikir rasa ini akan menghilang. Tapi, ternyata tidak. Maaf, Na aku hanya manusia biasa.”
“Aku tidak menyalahkanmu atas perasaan itu Ren karena rasa menyayangi dan mencintai orang lain itu fitrah kita sebagai manusia. Karena Ialah Maha Cinta. Pemilik hakiki Cinta Sejati. Namun kita terlalu cepat mengartikan rasa yang belum saatnya hadir. Hingga kebanyakan teman-teman kita menjadikan pacaran sebagai jalan pintasnya.”
“Memang terlalu awal aku merasakan semuanya. Dan salahku memupuk dan
membiarkannya tumbuh. Sekarang aku harus mencabut paksa dan membuangnya
karena perasaan yang tumbuh bukan karena izinNya akan membawa penyakit
ke dalam hatiku. Aku terus berdoa padaNya agar Ia menjaga diriku dari
hal-hal yang membuatNya murka padaku. Biarlah semua indah pada waktunya,
Na. Mesti sekarang aku harus bersusah payah mendapatkan kembali
kesucian hatiku. Aku yakin Ia selalu memperhatikan aku, kamu dan apa
yang kita perbuat dan bahkan mengetahui apa yang ada di dalam hati kita,
karena Ia Maha Mengetahui. Suatu hari nanti semua akan menjadi indah
dan dengan penuh syukur memuji AsmaNya.”
“Terus istiqomah ya Ren. Semoga kita bisa melewati ini semua dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Allah selalu bersama kita. Apa yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya yang beriman adalah pilihan terbaik, meski tampak sulit dan berat. Tetap semangat ya!”
“Terus istiqomah ya Ren. Semoga kita bisa melewati ini semua dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Allah selalu bersama kita. Apa yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya yang beriman adalah pilihan terbaik, meski tampak sulit dan berat. Tetap semangat ya!”
Kami berdua tersenyum bersama memandangi halaman yang telah basah.
Nyanyian hujan yang menentramkan kalbu. menghapus kegelisahan yang
sempat hadir di hati kami.
0 komentar:
Posting Komentar